Sabtu, 30 Juli 2011

Menikah, Keputusan Seumur Hidup

dakwatuna.com - Suatu saat saya pernah ditanya oleh seorang kawan. “Ustadz, saya ingin menikah tapi tabungan saya belum cukup dan banyak untuk melangsungkan pernikahan”. Dan jawaban saya waktu itu adalah menyuruh kawan saya ini untuk menabung hingga 3-5 tahun mendatang.
Tahun terus berjalan, dan waktu itupun tiba. Maka kawan saya ini kembali bertemu, lalu saya Tanya, “Apakah antum sudah siap melamarnya?” Kawan saya ini menjawab, “Afwan ustadz, ternyata tabungan saya belum cukup”.
Lalu sambil guyon, saya Tanya kawan saya ini. “Antum ini, mau nabung atau mau nikah?” tanya saya. Ditanya seperti itu, kawan saya ini pun tersipu malu dengan rona wajah yang merah menahan malu? “Yah, maunya sih nikah donk ustadz. Masa nabung terus, nanti gak nikah-nikah,” jawabnya tersipu malu.
Menikah bukan hanya dibayangkan saja, tetapi pastinya akan terlintas dalam benak kita. Boleh saja kita merencanakan hidup ini, memikirkan mimpi-mimpi indah. Nah, persiapan menikah atau berkeluarga tidak hanya dimulai dari satu atau dua bulan sebelum acara resepsi berlangsung. Akan tetapi harus dirancang semaksimal dan sebaik mungkin.
Menikah adalah keputusan seumur hidup. Maka, sekali saja salah langkah, arah dan jalan, maka hidup anda akan berubah. Semakin dini persiapan kita, maka hal itu semakin bagus. Bila bisa diibaratkan dengan pertandingan tinju, maka ada atau tidak ada musuh anda harus melatih pukulan, jab, tangkisan, dan sebagainya.
Persiapan yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan diri menerima orang lain, menerima kekurangan dan kelebihan orang lain yang nantinya akan menjadi pendamping kita. Ingat, calon pasangan kita nantinya adalah ‘mahkluk’ asing bagi anda, meskipun mungkin anda telah mengenalnya selama 10 tahun.
Pertama, dengan berkeluarga (baca; menikah) segala kebiasan buruk dan baik kita akan terlihat, dan anda akan tahu masa lalu pasangan, begitu pula sebaliknya dia akan tahun baik dan buruknya kita. Dan yang pasti anda harus menerima itu. Ingat, hidup pasangan anda tidak dimulai ketika dia bertemu anda. Banyak sisi gelap yang akan tersingkap dan anda harus menerima itu dengan segala konsekuensi yang ada.
Kedua, persiapan ketrampilan. Banyak loh yang panik, hanya gara-gara daging yang dimasak dan direbusnya selama 2 jam kok nggak empuk-empuk, atau bahkan bingung caranya benerin kran bocor. Mungkin dalam benak anda, anda bisa bilang ah…ntar aja deh, kan bisa sambil jalan betulinnya.
Padahal, kran bocorrr harus bisa diperbaiki segera, jika tidak rumah anda akan seperti kapal karam. Nah, mumpung belum punya rumah sendiri kenapa enggak belajar?? Pokoknya belajar semua ketrampilan yang ada, termasuk belajar menulis. Yang wanita bisa belajar manajemen, tata rias, atau keterampilan lainnya, dan sebagainya. Dan setelah itu praktekkan sekarang juga, sehingga nantinya anda sudah terbiasa. Ada yang bisa nambah informasi atau wejangan. Semoga keputusan baik anda untuk menikah, bisa menjadi pengalaman terbaik agar bisa membawa keluarga anda menjadi keluarga Sakinah, Mawaddah dan Warahmah.
Jika di dunia ini ada surga, maka surga itu adalah pernikahan yang bahagia. Rasulullah SAW berkata ‘Baiti Jannati”, Rumahku Surgaku. Kebahagiaan merupakan hal yang relatif. Tiap orang mempunyai ukuran berbeda-beda. Namun kebahagiaan hakiki dapat kita peroleh hanya dengan mengikuti petunjuk jalanNya.
Ingin memiliki rumah tangga yang bisa kita jadikan surga kita didunia? Ikutilah petunjuk Rasulullah SAW. “Lihat agamanya niscaya kalian akan mendapatkan semuanya”. Selamat menikmati, bagi anda yang ingin menikah dan selamat berbahagia untuk anda yang telah berkeluarga.


Hukum Laki-Laki Memandang Wanita Fiqih Kontemporer 21/7/2011 | 20 Sya'ban 1432 H | Hits: 7.099 Oleh: Tim dakwatuna.com

dakwatuna.com - Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan, bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan. Sebagaimana firman-Nya: “Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS Yasin: 36)
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS Adz-Dzaariyat: 49)
Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini, manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah untuk manusia.
Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya, begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa bahagia jika hanya seorang  diri, walaupun dalam surga ia dapat makan minum secara leluasa.
Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi (tugas dari Allah) yang pertama adalah ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam dan istrinya: “… Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah: 35)
Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki akan hidup sendirian, jauh dari perempuan, tidak melihat perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan—sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum Nasrani.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup sendirian dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan akhirat?
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain…” (QS At-Taubah: 71)
Hakikat lain yang wajib diingat di sini—berkenaan dengan kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan—bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif. Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan (perkawinan) dan reproduksi, sehingga terpeliharalah kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.
Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas antara hukum memandang laki-laki terhadap  perempuan. Kami menguatkan pendapat  jumhur  ulama yang menafsirkan firman Allah: “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya…” (QS An-Nur: 31 )
Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah “wajah dan telapak tangan.” Dengan demikian, wanita boleh menampakkan wajahnya dan kedua telapak  tangannya, bahkan (menurut pendapat Abu Hanifah dan Al-Muzni) kedua kakinya.
Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki  melihat kepadanya ataukah tidak?
Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.
Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Oleh sebab itu, ada ungkapan, “memandang merupakan pengantar perzinaan”.
Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, “Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu.”
Adapun melihat perhiasan (bagian  tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan   sebagainya. Demikian pula pembuktian tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.
Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjuk petunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan  khayalan  sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.
Oleh karena itu, Nabi SAW pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama Fadhl bin Abbas, agar tidak melihat wanita Khats’amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Fadhl bertanya kepada  Rasulullah SAW, “Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?”
Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku  tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka.”
Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si Muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyimpang.
Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan  upaya “menikmati” dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya.
Allah SWT berfirman: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (QS An-Nur: 30-31)
(RoL)
Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer, Yusuf  Qaradhawi

Fiqih Shiyam (Bagian ke-1) Fiqih Ahkam 29/7/2011 | 28 Sya'ban 1432 H | Hits: 1.444 Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

I. Ketentuan Puasa
A. Terjemah Surat Al- Baqarah ayat 183-184
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴿١٨٣﴾أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ﴿١٨٤﴾
Hai Orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)  sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 183-184)
B. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 183-187
1. Mufradat:
كتبَ عليكم
Diwajibkan atas kamu semua
أياماً معدودات
Bulan Ramadhan
فعدَّةٌ
Yang wajib baginya adalah puasa setelah Ramadhan sejumlah hari yang ditinggalkan selama Ramadhan
يطيقونه
Mampu berpuasa dengan berat, atau tidak mampu sama sekali seperti orang tua dan ibu hamil dan menyusui
فِديَة
Berbuka dan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorangmenambahkan makanan, atau berpuasa dan memberi makan
yang membedakan antara hak dan bathil
فِديَة
Bekal dalam memberi makan, atau puasa sambil memberi makan
الفرقان
apa yang dapat membedakan antara yang haq dan batil.
فمن شهدَ منكم الشهرَ
barang siapa yang datang Ramadhan sedang ia dalam keadaan mukim, bukan musafir berakal dan sudah baligh
ولتُكملوا العِدّة
agar kau sempurnakan puasa Ramadhan, dengan berpuasa menggantikan hari-hari yang kau tinggalkan setelah bulan Ramadhan
الرفَثُ إلى نسائكم
bahasa halus dari hubungan suami istri
تختانون أنفُسَكم
menganggapnya berkhianat, karena ingin makan, minum dan berhubungan suami istri di waktu malam, padahal itu haram
فتابَ عليكم
telah diringankan beban berat ini
باشروهن
kata lain dari hubungan suami istri
وابتغوا
carilah
حتى يتبيَّن لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسودputihnya siang dan hitamnya malam
إلى الليل
sehingga terbenam matahari
عاكفون
dalam keadaan beri’tikaf. Arti I’tikaf: diam di masjid dengan niat beribadah, orang yang beri’tikaf tidak diperbolehkan berhubungan suami istri

Ilustrasi (inet)
2. Ta’rif  Shiyam dan Masyru’iyyahnya
Shiyam adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari disertai dengan niat. Allah mewajibkan puasa Ramadhan kepada kaum muslimin ini pada tahun kedua hijriyah, tanggal 2 Sya’ban.
Hukum shiyam ini disampaikan dalam tiga tahap, yaitu:
Tahap pertama: Puasa diwajibkan dengan pilihan, siapa yang mau berpuasa dipersilakan dan siapa yang tidak mau dipersilakan pula, meskipun mampu, dengan membayar fidyah. Itulah firman Allah: QS. 2: 184, artinya Bagi orang yang tidak mampu puasa dan tidak berpuasa, ia wajib memberi makan seorang miskin, menggantikan puasa sehari
Tahap Kedua: puasa diwajibkan tanpa pilihan, dan diberikan rukhshah bagi orang yang sakit. Musafir berbuka dan berpuasa setelah Ramadhan menggantikan hari yang ditinggalkan. Itulah firman Allah: QS. 2: 185
Tahap Ketiga: diperbolehkan makan minum dan hubungan suami istri, sejak terbenam matahari hingga terbit fajar hari berikutnya. Pada dua marhalah sebelumnya jika orang yang berpuasa sudah tidur maka ia haram makan minum dan hubungan suami istri sampai hari berikutnya, sehingga hal ini memberatkan kaum muslimin, maka turunlah ayat QS.2:187 Dihalalkan bagimu……sampai firman Allah…dan makan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari benang merah…
Ulama Islam telah berijma tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, yang merupakan salah satu rukun Islam, dan mengingkarinya dianggap murtad.
3. Syarat-syarat shiyam
Syarat shiyam ada dua macam yaitu:
  1. syarat wajib shiyam, artinya syarat yang membuat puasa wajib bagi seseorang, yaitu: Islam, Mukallaf (akil baligh) dan mampu berpuasa. Puasa tidak diwajibkan pada yang tidak muslim, tidak wajib pula pada muslim yang belum mukallaf, seperti orang gila, anak-anak, walaupun anak-anak disuruh puasa sebagai latihan, bahkan dipukul jika tidak puasa ketika sudah berusia 10 tahun, dan telah dianggap shah puasanya ketika sudah masuk usia mumayyiz (kurang lebih tujuh tahun). Sebagaimana tidak wajib puasa atas orang yang tidak mampu sama sekali, seperti orang tua, orang sakit berat, hanya wajib fidyah.
  2. syarat pelaksanaan atau keabsahan. Yaitu syarat yang harus dipenuhi agar puasanya sah dan diterima, yaitu: Islam, Mumayyiz (bagi anak-anak) bersih dari haidh dan nifas. Orang yang sedang haidh dan nifas wajib berpuasa, tapi tidak sah puasanya sehingga keduanya bersuci, keduanya tidak puasa selama masa haidh dan nifasnya, sehingga ketika keduanya suci ia wajib puasa menggantikan hari yang ditinggalkan. Sebagaimana disyaratkan bagi sahnya puasa itu, harus pada hari-hari yang tidak dilarang berpuasa, seperti hari ied dll.